Senin, 15 Desember 2008

resensi novel

RESENSI NOVEL
Judul Buku : Azab dan Sengsara
Karya : Merari Siregar
Penerbit : Balai Pustaka, terbitan XVII, 2000
Angkatan : 20-An
Tebal Buku : 163 Halaman
Harga buku : -
Jumlah Halaman : 163


1. Sinopsis

Novel yang berjudul “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar ini menceritakan kisah kehidupan seorang anak gadis bernama Mariamin. Mariamin tinggal dipondok bambu beratapkan ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok.
Di waktu senja Mariamin atau yang biasa dipanggil Riam seperti biasanya duduk di sebuah batu besar di depan rumahnya menunggu kekasih nya datang. Mariamin sangat sedih karena Aminu’ddin, kekasihnya itu menemuinya untuk berpamitan sebab dia akan pergi ke Medan untuk mencari pekerjaan supaya dia bisa menikahi kekasihnya itu dan bisa mengeluarkan Mariamin dan keluarganya dari kesengsaraan.
Aminuddin seorang anak muda berumur delapan belas tahun. Dia adalah anak kepala kampung A. Ayah Aminu’ddin seorang kepala kampung yang terkenal di seantero Sipirok. Harta bendanya sangat banyak. Adapun kekayaannya itu berasal dari peninggalan orangtuanya tetapi karena rajin bekerja, maka hartanya bertambah banyak. Ayah Aminu’ddin mempunyai budi yang baik. Sifat-sifatnya itu menurun pada anak laki-laki satu-satunya, Aminu’ddin. Aminuddin bertabiat baik, pengiba, rajin, dan cerdas.
Setelah Aminu’ddin pulang, Mariamin pun masuk kedalam rumahnya untuk menyuapi ibunya yang sedang sakit. Mariamin tidak ingin membuat ibunya sedih oleh karena itu ia berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya karena harus berpisah dengan orang yang dicintainya walaupun itu hanya sementara. Ibunya sangat mengenal gadis itu sehingga dia mengetahui kalau Mariamin sedang bersedih. Ibunya mengira kesedihan anaknya itu karena dia sedang sakit sebab sakitnya ibu Mariamin sudah lama sekali. Setelah selesai menyuapi ibunya, Mariamin pergi ke kamarnya untuk tidur. Mariamin tidak dapat memejamkan matanya, Pikirannya melayang mengingatkan masa lalunya ketika dia masih kecil.
Dahulu ayah Mariamin, Sutan Baringin adalah seorang yang terbilang hartawan dan bangsawan di seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi karena ia suka berperkara, maka harta yang banyak itu habis dan akhirnya jatuh miskin dan hina. Berapa kali Sutan Baringin dilarang istrinya supaya berhenti berpengkara, tetapi tidak diindahkannya ia malah lebih mendengarkan perkataan pokrol bambu tukang menghasut bernama Marah Sait. Ibu Mariamin memang seorang perempuan yang penyabar, setia sederhana dan pengiba berlawanan dengan Sutan Baringin, suaminya yang pemarah, malas, tamak , angkuh dan bengis.
Mariamin dan Aminu’ddin berteman karib sejak kecil apalagi mereka masih mempunyai hubungan saudara sebab ibu Aminu’ddin adalah ibu kandung dari Sutan Baringin, ayah Mariamin ditambah lagi Mariamin sangat berhutang budi kepada Aminu’ddin karena telah menyelamatkan nyawanya ketika Mariamin hanyut di sungai.
Setelah 3 bulan Aminu’ddin berada di Medan, dia mengirimkan surat kepada Mariamin memberitahukan kalau dia sudah mendapat pekerjaan, Mariamin pun membalas surat dari Aminu’ddin tersebut.
Mariamin sangat bahagia menerima surat dari Aminu’ddin yang isinya menyuruh Mariamin untuk berkemas karena Aminu’ddin telah mengirim surat kepada orangtuanya untuk datang ke rumah Mariamin dan mengambil dia menjadi istrinya serta mengantarkannya ke Medan. Tetapi ayah Aminu’ddin tidak menyetujui permintaan putranya itu, biarpun istrinya membujuknya supaya memenuhi permintaan Aminu’ddin.
Mariamin sudah mempersiapkan jamuan untuk menyambut kedatangan orang tua Aminu’ddin. Akan tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang, malah yang datang adalah surat permintaan maaf dari Aminu’ddin. Dalam surat itu memberitahukan kalau kedua orang tua nya sudah berada di Medan dengan membawa gadis lain sebagai calon istrinya. Aminuddin sangat kecewa dan hatinya hancur tetapi dia tidak bisa menolak karena tidak ingin mempermalukan orang tuanya dan dia tidak mau durhaka pada orangtua
Mariamin gadis yang solehah itu menerima maaf Aminu’ddin, dia menerima semuanya sebagai nasibnya dan harapannya untuk keluar dari kesengsaraan pun sudah pudar.
Setelah dua tahun lamanya Mariamin pun menikah dengan orang yang belum dikenalnya, pria itu bernama Kasibun. Usia Kasibun agak tua, tidak tampan dan dia pintar dalam tipu daya, selain itu dia juga mengidap penyakit mematikan yang mudah menular pada pasangannya.
Aminu’ddin mengunjungi Mariamin di rumah suaminya ketika itu suaminya sedang bekerja di kantor. Kasibun sangat marah setelah dia mengetahui kedatangan Aminu’ddin apalagi ketika Mariamin menolak berhubungan suami-istri. Suaminya yang bengis itu tidak segan-segan menamparnya, memukulnya dan berbagai penyiksaan lainnya. Akhirnya karena dia sudah tidak tahan lagi Mariamin melaporkan perbuatan suaminya itu pada polisi. Sampai akhirnya mereka bercerai. Kesudahannya Mariamin terpaksa Pulang ke negrinya membawa nama yang kurang baik, membawa malu, menambah azab dan sengsara yang bersarang di rumah kecil yang di pinggir sungai Sipirok.
Hidup Mariamin sudah habis dan kesengsaraannya di dunia sudah berkesudahan. Azab dan Sengsara dunia ini sudah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jazad badan yang kasar itu.

2. Kutipan

7. DALAM RUMAH BAMBU MARIAMIN

“Kak Riam! Ini surat, yang diberikan oleh tukang pos,” kata seorang budak, yang berlari-lari dari halaman rumah mereka itu masuk ke dalam.
Mariamin menerima surat itu dengan gemetar tangannya, karena tulisan itu dikenalnya. “surat ini dari Medan, dari aminu’ddin, Mak! “katanya, sambil membuka surat itu.
Belum habis Mariamin membaca surat itu, maka pucatlah mukanya, peluhnya mengalir pada seluruh badannya. Pemandangannya pun sudah salah, suatu pun tak ada yang terang dilihatnya, semua berpusing-pusing di matanya. Kalau si ibu tiada menangkap dia, sudah tentu dia jatuh terbalik karena…ia sudah pingsan.
“Astagfirullah!” mengucap mak Mariamin, sambil meletakkan anaknya itu ke atas tikar yang terkembang. Yang pingsan itu terletak tiada bergerak, dan surat yang menghan curkan jiwanya itu dipegangnya kuat-kuat dengan tangan kirinya. Pipi, bibir serta kelopak mata yang halus itu amat pucat, tiada ubahnya dengan mayat, hanya dada turun naik sekali-kali itulah yang memberi tanda, bahwa ia masih bernyawa.
“Bukankah bunda sudah berkata, kita orang yang hina? Anakku bercintakan orang yang kaya juga. Beginilah kesudahannya,” kata ibunya sambil menangis, dan air matanya bercucuran ke atas pipi anaknya yang malang itu.
Beberapa lamanya barulah Mariamin sadar akan dirinya, karena ibu yang sudah bingung itu tiada berbuat suatu apa akan menyadarkan anaknya, umpama menyapukan air dingin ke muka si sakit. Bagaimanakah ia mengingat itu, karena ia pun sudah kehilangan akal pula.
Anak gadis itu membuka kelopak matanya yang pucat itu. Ia melihat ibunya menangis, dan surat di tangan kirinya. Sekarang tahulah ia apa yang terjadi di atas dirinya. Maka bertangis- tangisanlah keduanya.
Bukankah hati manusia yang acap kali mendapat azab pada kehidupan ini, amat halus perasaannya? Jikalau ia luka, maka luka yang sudah bertahun-tahun itu pun, menambahi sakit dan pedihnya luka yang baru itu.
“Janganlah anakku membaca surat itu juga, karena hati anakku masih dalam masygul!” ujar ibunya, sambil surat itu dihelakanya perlahan-lahan dari tangan Mariamin.
“Ya , Mak, simpanlah dahulu surat itu,” sahut Mariamin dengan keluh yang panjang.
Entah berapa hari, entah berapa jumat, entah berapa bulan anak gadis itu tiada lagi meninggalkan tempat tidurnya. Tetapi lama, lebih lama dari pada dugaan orang, karena suatu pun tak ada obat yang menyembuhkan penanggungannya itu. Benarlah seperti bunyi peribahasa ini: “Luka di tangan dapat ditahan luka hati apa obatnya?” Akan tetapi sungguhpun demikian, penanggungannya itu adalah makin berkurang, sehinga setelah beberapa lamanya, dapat ia serta bekerja menolong ibunya.
Mukanya yang penuh dahulunya, sekarang sudah kurus dan pucat dan mata yanghitam jernih itu sudah kurang cahayanya, amat kasihanlah kita melihatnya. Seharusnya tubuhnya yang lemah itu jangan dahulu dibawanya kerja; tetapi apa boleh buat, orang yang miskin itu harus minum keringatnya dan makan dagingnya.
Tepat pada hari yang pertama, setelah Mariamin sembuh, maka datanglah Baginda Diatas dengan istrinya membawa nasi bungkus ke rumah ibu Mariamin. Waktu itu si ibu tak ada di rumah, hanya Mariamin sajalah yang tinggal di rumah. Setelah dilihatnya orang tua Aminu’ddin datang itu maka ia pun berlari ke luar mengajak mereka masuk. Dengan muka yang ramah ia mempersilakan jamu itu duduk di atas…tikar, yaitu tikar yang dianyamny sendiri itu, untuk tempat duduk ayah Aminu’ddin dua laki-istri.
Serbuk kopi, juadah yang tersimpan itu pun dikeluarkannyalah, lalu diletakkannya kehadapan tamu yang berdua itu. Dengan hormatnya ia berkata, “Ayah dan Bunda, minumlah air panas yang dengan tiada sepertinya ini! Hamba hendak pergi sebentar membritahukan mak akan kedatangan ayah dan bunda; dia sekarang ada menjemur padi.”
“Pergilah Anakku!” sahut Baginda Diatas.
Ia menyesal akan perbuatannya yang sudah-sudah itu, karena terkena hatinya oleh budi bahasa anak gadis miskin itu; sikap dan tertibnya pun adalah menarik hatinya. Muka yang pucat itu pun menerbitkan belas kasihan dalam hatinya. Bukan belas dan kasihan saja, tetapi dengan sesalnya. Sekarang ia amatlah menyesal sebab melalui keinginan anak muda yang berdua itu
“Siapa tahu, karena perbuatanku itu aku memusnahkan untung dan mujur Aminu’ddin dan Riam?” pikirnya dalam hatinya. Pikir istrinya, “Sebenarnyalah pendapatku itu yang lebih baik, tetapi apa boleh buat, perkataan datulah yang lebih berat di hatimu.”
Setelah itu Mariamin pun datanglah dengan ibunya. orang itu pun makanlah bersama-sama. sesudah makan dan minum, Baginda Diatas pun membuka tutur, yakni mengatakan maksud kedatangan mereka itu. Semua pesan Aminu’ddin itu disampaikannya, sesudah mereka itu meminta maaf atas kesalahanya itu, Baginda Diatas pun berjanji, bahwa sejak dari pada itu mereka itu akan mengubah kelakuan yang selama ini, yakni tali perkauman itu takkan putus, melainkan bertambah kukuh dalam hati mereka itu.
Jamu itu pun pergilah; ibu Mariamin bersenang hati, bukan karena pembawaan kerbau dan lembu itu, akan tetapi disebabkan janji yang mulia itu.
Mariamin, meskipun beroleh emas dan perak atau apa pun yang lain, akan tetapi barang yang amat diinginnya itu tetap juga hilang, hilang selama hidupnya.
Tetapi sungguh pun demikian ia memuji budi Aminu’ddin yang baik itu. Sementara itu ia mengambil surat Aminu’ddin dari bawah bantalnya, lalu dibacanya perlahan-lahan. Air mukanya tak berubah lagi, tinggal tenang saja. Kemudian ia pun mencabik kertas kitab tulisnya yang sudah lama, lalu ia menulis surat akan memenuhi permintaan Aminu’ddin itu dengan seikhlas-ikhlas hatinya.
Yang Terhormat
Kakanda Aminu’ddin!
Surat kakanda itu sudah adinda terima. Ya, apa boleh buat, sudahlah demikian takdir Tuhan berlaku atas hambanya. Semuanya itu takkan kusesalkan kepada kakanda
Ya, apa disesal kepada puan
Puan suasa tempaan bantan
Apa disesal kepada tuan
Nasibku itu pendapatan badan
Dan tentang angan-angan dan cita-cita kita yang dahulu itu, sebenarnyalah perkataankakanda itu, lebih eloklah kita melupakan dia daripada hati kita. Oleh sebab itu baiklah kita buat sementara jangan berkirim-kiriman surat, agar supaya luka hati kita jangan terantuk-antuk. Maklumlah kakanda Aminu’ddin, bagaimana penderitaan adinda ini. Ya, perempuan itu mempunyai perasaan yang lebih halus, dan luka hatinya itu tiada mudah sembuh, sebagai laki-laki. Oleh sebab itu baiklah kita membiarkan, yang sudah tinggal sudah, janganlah kita mengulang-ulangi dia.
Permintaanmu itu, Aminu’ddin, aku kabulkan dengan segala suci hati. Lagi pula seharusnyalah kita bermaaf-maafan. Tetapi sungguhpun perhubungan kita sudah putus, adinda ini harap juga, supaya kita sebagai orang yang bersaudara.
Ya… lebih dari itu tak mungkin lagi. Sehingga ini dahulu suratku ini, surat yang terbit daripada hati yang putih.
Salam waltakrim daripada adikmu,
Mariamin
Habis siang berganti malam, habis minngu berganti bulan, demikianlah adanya sehingga setahun, akan tetapi suatu pun tak ada perubahan dalam rumah bambu tempat ibu dan anak yang miskin itu….
Memang suatu pun tak ada perubahan selama tahun yang pertama, akan tetapi pada tahun yang kedua telah ada lainnya, lebih-lebih pada waktu yang kemudian ini.
Mariamian, anak gadis yang…didalam duka nestapa itu, sekarang lebih sibuk bekerja daripada yang biasa, seolah-olah melakukan persediaan untuk perjalanan, serupa tahun yang dahulu. Tetapi sekali ini ia bekerja itu tiada dengan girang hati, tangannya yang bekerja itu bergerak dengan tak tetap dan muka yang halus itu kurang cahayanya, karena dimuramkan hati yang bimbang itu.
Hari waktu berangkat tak lama lagi, hanya menunggu seorang muda yang datang dari Padangsidempuan.
Dengan orang itulah ia akan kawin. Maksud orang itu yakni hendak beroleh untung, karena sebagai kepercayaannya, perkawinan itu membawa untung kepada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi bagi anak gadis itu, tiadalah perkawinan itu membawa untung dan mujur bagi dia, ia perempuan, yang telah kenyang oleh kesedihan, meskipun umurnya belum seberapa.
Perkawinan itu tiada akan memutuskan azab dan sengsara yang bertali-tali itu, tetapi akan menambah kemelaratan lagi bagi dia, anak gadis yang malang itu.
Semuanya itu dilihatnya, dirasanya, bukan dengan urat sarafnya, tetapi hatinya mengatakan padanya.
Akan tetapi apa boleh buat, tiadalah dapat ia menolak beban yang akan dipikulnya itu. Ia telah mengerti, bahwa hidupnya di dunia ini tiada lain dari pada menanggung dan menderita bermacam-macam sengsara.
Bagaimanakah dapat ia menolak perkawinan itu, karena ibunya berkehendak demikian. Menerangkan keberatannya serta perasaan kemauannya, tetapi membantah perkataan ibunya tak sampai hatinya; karena belum pernah diperbuatnya.
Betul ibunya tak memaksa dia, hanya sekadar menyuruh dia. Karena bolehlah nanti di belakang hari mendatangkan malu, apabila anaknya itu tiada dipersuamikan. Orang yang tinggal gadis itu menjadi gamit-gamitan dan kata-kataan orang. Itulah yang ditakutkan ibunya. Itulah yang menyebabkan si ibu menyuruh anaknya menerima pinangan orang itu.
“bukan mudah menjadi perempuan,” kata ibunya, “laki-laki itu lain . Meskipun ia melambat-lambatkan perkawinan, tak seberapa menyusahkan dia. Bila nanti hatinya tergerak hendak beristri, dapatlah ia dengan segera mencari perempuan. Akan tetapi perempuan itu, kalau ia hendak bersuami, bolehkah ia nanti masuk ke luar negeri orang akan mencari jodohnya? Oleh sebab itu baiklah anakku jangan melalui permintaan bunda ini; lagi pula manusia itu harus jua diperjodohkan, jadi tiadalah faedahnya kita, segan-seganan karenanya.”
Kebenaran dan pertimbangan yang dituturkan ibunya itu, benar pula dalam pikiran Mariamin.Tetapi terasa dalam hatinya bahwa perkawinan itu, yang akan dilakukannya akan membawa dia ke jalan kemelaratan. Akan tetapi ia merasa demikian dalam hatinya, jadi tiadalah dapat diberinya keterangan. Itulah sebabnya ia terpaksa juga akhir-akhirnya menurut kesukaan ibunya itu.
Kesudahannya ia kawin dengan orang muda dari Padangsidempuan, orang muda yang tiada dikenalnya, orang muda yang tiada dicintainya, jodoh yang tak disukainya.
Orang muda? Sebenarnya tiada demikian, hanya katanya ia orang muda. Di Medan, tempat ia makan gaji, ada lagi bininya. Ia pulang ke Tapanuli hanya mengunjungi negerinya saja. Dalam pada waktu itu dilihatnya seorang gadis anak orang miskin. “Itu tentu dapat diperoleh, karena aku kaya, makan gaji, kerani orang itu. Istrinya yang di Medan itu tiada susah menguruskannya, jatuhkan saja talak tiga, habis perkara; gantinya telah ada, lebih muda lagi. Kelakuan yang serupa itu sudah banyak sekali dilakukan orang muda itu.
Ya, kalau dikatakan laki-laki itu buas dan ganas tabiatnya, kasar didengar telinga, tetapi tiada salahnya lagi. Bukankah banyak perempuan yang melarat karena perbuatan laki-laki yang semacam itu? Sungguh amat keji perbuatan itu.
Orang yang jadi suami Mariamin itu pekerjaannya kerani. Tentang bentuk dan rupanya begini: dia tak dapat dikatakan muda lagi; raut mukanya panjang, kurus sedikit, hidungnya pendek dan bibirnya tebal, cahaya matanya tajam dan berkilat-kilat, menyatakan ia pintar dan cerdik, tetapi pintar dalam tipu daya.
Begitulah rupa si Kasibun, yaitu nama orang itu, yang akan menjadi suami anak gadis yang molek itu. Sekalipun rupanya tak dapat dikatakan elok, akan tetapi karena pandainya memakai dan memelihara dirinya, kelihatanlah badannya yang agak tua itu lebih muda dipandang daripada sebenarnya.
Kasibun pun datanglah ke rumah orang tua Mariamin, Mariamin telah sedia akan meninggalkan sipirok, menuju ke Medan tempat yang ramai itu. Waktunya berangkat pun sudah dekat, yakni besok hari jum’at, pergilah si ibu dengan Mariamin membawa cambung yang berisi air dengan limau purut serta bunga-bungaan, pergi mengunjungi kuburan mendiang Sutan Baringin. Setelah mereka itu sampai, maka Mariamin pun menyiramkan air yang di cambung itu ke atas kuburan bapaknya, dan ibunya berdiri memandang ke tanah, suatu pun tak ada ia berkata-kata, karena terkenang olehnya kejadian yang sudah-sudah, tatkala Sutan Baringin masih hidup.
Mariamin meletakkan cambung itu, lalu mereka itu duduk bersama-sama di sisimkubur itu.
Sunyi serta lengang rupanya tanah pekuburan itu, karena seorang manusia yang lain tak ada di situ; matahari pun telah terbenam, hanyalah cahaya senja saja yang kelihatan di langit. Burung-burung pun telah bersembunyi dalam sarangnya, juga udara yang memenuhi muka bumi ini diam, seolah-olah orang musafir yang telah payah rupanya. Tempat pekuburan yang sunyi itu menambah kesedihan hati si ibu; karena waktu kegirangan yang sudah-sudah tergambar dalam hatinya, dan gambar itu amat menyedihkan hatinya, karena sekaliannya itu telah hilang terkubur, sebagai suami yang terkubur di tempat itu. Kini tinggallah ia anak beranak dalam kemiskinan, apalagi sekarang anak yang sulung hendak bercerai pula dengan dia. Tetapi apa hendak dikata, sudahlah demikian janjinya, lagi pula perceraian dengan anaknya itu barangkali adalah akan membawa perubahan bagi mereka itu. Banyaklah yang diharapkannya, karena itu ia berkata kepada anaknya, “Mariamin, sekaranglah ku luaskan cita-cita yang terkandung dalam dada bunda ini. Anakku telah maklum akan kemiskinan kita sejak dari matinya ayahmu. Bukanlah bunda yang salah, dialah yang menyebabkan kita demikian. Tapi itu tiada boleh kita sesalkan kepadanya, karena bukan dengan sengajanya, lagi pula ia telah meninggal. Karena itu haruslah kita melupakan yang sudah-sudah itu. Tetapi sebagai keinginan ibu, ibu berusaha akan memperbaiki keadaan kita, tapi sampai kini suatu pun tak ada yang ku peroleh. Itulah sebabnya, maka ibu ingin mempersuamikan anakku. Karena si Kasibun itu tiada berorang tua lagi, hanyalah saudaranya yang ada. Jika anakku pandai mengambil hatinya, sampai ia sayang akan anakku, tentu ia memandang bunda sebagai ibunya sendiri, dan adikmu itu pun diperbuatnya sebagai adik kandungnya pula. Kalau demikian dapatlah kelak kita diam bersama-sama, karena gajinya pun besar, kata orang. Bukankah lebih baik kita meninggalkan Luhak Sipirok ini, sawah setelempap atau lembu sebulu kepunyaan kita tak ada di sini. Itulah harapan bunda.Dengan sepandai-pandaimulah membawakan dirimu kepada si Kasibun. Dan anakku ingatlah perkawinan ini sajalah yang dapat menyudahkan kesengsaraan kita yang bertimbun-timbun ini.”
Sedapat-dapatnyalah anakanda akan menurut perkataan bunda itu, “sahut Mariamin, akan tetapi dalam hatinya ia merasa bala yang akan menimpa dirinya.


3. Unsur-unsur intrinsik Novel
a.Tema
Adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsa dapat membawa azab dan sengsara.
b. Tokoh
Mariamin : Baik, pengiba, rajin, ramah, penyabar, dan pemaaf
Aminu’ddin : Baik, rajin, pengiba, pandai, dan berbakti.
Sutan Baringin : Pemarah, malas, tamak, angkuh, dan bengis.
Ibu Mariamin : Penyabar, sederhana, setia, dan pengiba
Baginda Diatas : Baik, rajin, dan bijaksana.
Ibu Aminu’ddin: Baik, pengiba, dan setia.
Kasibun : Jahat, bengis, pandai dalam tipu daya, buas, dan ganas
Marah Sait : Jahat, dan suka menghasut
c. Latar
Waktu : Senja, malam hari, pagi hari, siang hari, dalam perjalanan pulang dari sawah, hari jum’at
Tempat : Di atas batu besar di sebelah rusuk rumah dekat sungai sipirok, di dalam rumah Mariamin, rumah Amunu’ddin di kampung A, di sawah, di pondok, di jalan, di stasiun, di rumah kerabat Aminu’ddin di Medan, di perahu, di rumah Kasibun di Medan, dikantor polisi, dan tempat peristirahatan terakhir Mariamin selama-lamanya (di kuburan).
d. Amanat
Adat dan kebiasaan yang kurang baik sebaiknya di hilangkan agar tidak menyengsarakan bagi orang yang menjalankannya.
e.Alur Campuran
Pengenalan tokoh, di waktu senja, saat Aminu’ddin berpamitan pada Mariamin hendak pergi ke medan untuk mencari pekerjaan agar dapat membebaskan Mariamin dari kesengsaraannya, kemudian menceritakan saat Mariamin dan Aminu’ddin masih kanak-kanak dan orang tua dari keduanya dari sejak menikah kemudian kembali menceritakan Aminu’ddin yang telah berada di medan dan memperoleh pekerjaan, selanjutnya Aminu’ddin menikah dengan gadis lain pilihan ayahnya, setelah dua tahun Mariamin pun menikah dengan orang yang tidak dikenalnya, pernikahannya tidak bahagia dan Mariamin pun bercerai dan kembali ke negerinya samp-ai dia meninggal dan dikubur di sipirok kota kelahirannya.
f. Sudut Pandang
Orang ketiga.
g. Gaya Penulisan
Gaya Penulisan dalam Novel Azab dan Sengsara mempergunakan bahasa melayu dan juga banyak sekali mempergunakan majas khususnya majas metafora dan personifikasi yang memberikan kesan lebih indah didalam melukiskan suasana dalam novel tersebut.